- January 26, 2024
- Posted by: Ferry Irawan
- Category: Pajak
Tulisan ini dibuat oleh Bapak Ferry Irawan, S.E., Ak., S.S.T., S.H., M.M., M.E, M.P.P., CSRA, CSP, CPA, BKP. Beliau merupakan Director di DSK Global. Selain itu, beliau merupakan dosen di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Sistem perpajakan di Indonesia mengatur tindakan Wajib Pajak yang digolongkan sebagai tindak pidana. Meskipun UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) tidak memberikan definisi yang eksplisit mengenai tindak pidana perpajakan namun ketentuan terkait dengan pidana perpajakan diatur dalam beberapa Pasal UU KUP dimaksud. Berikut ini antara lain uraian mengenai ketentuan dalam UU KUP.
Pertama, Pasal 39 mengatur tindakan administrasi pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak secara sengaja sehingga menimbulkan kerugian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun, dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang. Kedua, Pasal 39A mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja: (a) menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau (b) menerbitkan Faktur Pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Ketiga, Pasal 40 mengatur bahwa Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dilakukan penuntutan setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Tindak pidana perpajakan tidak hanya mengatur Wajib Pajak namun juga kepada fiskus. Pasal 41 UU KUP antara lain mengatur terkait pejabat yang tidak menjalankan rahasia jabatan baik secara sengaja maupun alpa dapat dipidana. Selain itu, diatur pula sanksi pidana bagi pihak ketiga seperti akuntan, notaris, konsultan dan lainnya Apabila tidak memberikan keterangan atau bukti atas Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan, penagihan atau penyidikan. Hal ini diatur dalam Pasal 41A UU KUP. Selanjutnya, Pasal 41B UU KUP mengatur setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000 (tujuh puluh lima juta rupiah). Penyelesaian tindak pidana pajak dapat dilakukan secara administrasi. Hal ini sesuai dengan asas ultimum remedium. Pasal 44B ayat (1) UU KUP antara lain menyebutkan bahwa “Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan”. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa meskipun atas Wajib Pajak telah dilakukan penyidikan, namun penyidikan tersebut dapat dihentikan dengan syarat Wajib Pajak melunasi kerugian negara beserta sanksi yang ditetapkan. Selain itu, Pasal 44B ayat (2a) juga mengatur Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif atau jumlah pajak dalam Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif. Pelunasan dimaksud menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.